Senin, 19 Januari 2009

“AGAR DATANG HARI ESOK”

1. Adegan Padhepokan Ngadiluwih

Eyang Sidik Wacono dan Kampret berbincang tentang perkembangan kondisi kehidupan di era sekarang, era sandyakala, era transisi. Di era sandayakala biasanya hukum tidak berjalan, etika dikesampingkan, norma tak lagi diperhatikan. Hidup berbangsa dan bernegara ini tidak ubahnya seperti orang bermain sepak bola. Di sana ada pribadi, ada kelompok dan ada gol yang menjadi tujuan. Apa yang terjadi bila para pemain tidak satupun mengindahkan aturan main? Permainan akan menjadi liar. Wasit bisa seenaknya meniup peluit. Sebaliknya pemain bisa seenaknya menganiaya wasit. Akan banyak pemain yang tak lagi menendang bola karena asyik adu jotos. Bahkan pemain yang termakan mafia akan dengan enaknya menyarangkan gol bunuh diri.

Terciptanya kualitas hidup manusia secara lahir-batin tergantung sejauh mana orang menaati aturan main alias hukum, norma dan etika. Kadar ketaatan manusia terhadap hukum sangat tergantung kepada tinggi rendahnya kadar moralitas. Tinggi rendahnya kadar moralitas sangat tergantung kepada kedalaman religiusitas. Religiusitas adalah kesadaran bahwa manusia tidak hidup sendiri, ia berdampingan dengan sesama dan lingkungan alam. Kesadaran tersebut membuat manusia berbudi-daya dalam rangka membangun keselarasan. Keselarasan dengan sesama manusia dan keselarasan dengan alam. Rumus sederhananya; religiusitas melahirkan budaya, sebaliknya budaya menyuburkan religiusitas. Ibarat telor dan ayam, tidak ada telor bila tidak ada ayam, sebaliknya juga tidak akan ada ayam bila tidak ada telor. Maka untuk membangun moralitas bangsa ini tiada jalan lain kecuali back to culture lengkap dengan dinamisasinya.

Sesaat kemudian Parjo dan Karyo datang menyampaikan instruksi dari Pak Lurah yang meminta seluruh warga desa Bangunjiwo melakukan gerakan kebersihan, ketertiban dan kerapian. Sebab Desa Bangunjiwo akan mengikuti lomba 3 K (kebersihan, ketertiban dan kerapian) tingkat Kabupaten. Eyang Sidik Wacono kurang setuju terhadap konsep 3 K yang belakangan dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat. Sebab konsep itu telah mengorbankan tanah dan pepohonan. Demi 3 K permukaan tanah menjadi hilang oleh betonisasi sehingga tidak mampu lagi menyerap air. Pepohonan besar banyak ditumbangkan sehingga tidak ada yang menyimpan air. Maka Eyang Sidik Wacono bersikeras tidak mau ikut-ikutan terjebak menjalani konsep 3 K yang kebablasan itu. Parjo dan Karyo tidak mau berdebat, langsung pergi.


2. Adegan Pengumunan Hasil Lomba

Saat Pengumuman hasil lomba 3 K sudah tiba. Sebelum pengumuman hasil lomba disampaikan, hadirin disuguhi pertunjukan musik dangdut. Setelah beberapa penyanyi beraksi menghibur hadirin, Pengumuman hasil lomba disampaikan oleh Ketua Dewan Juri. Desa Bangunjiwo mendapat juara II. Selesai pengumumuman, acara pun ditutup.


3. Adegan Balai Desa Bangunjiwo

Parjo, Karyo, Jhony dan sejumlah warga mendatangi Lurah Somad. Mereka menyatakan kekecewaannya lantaran Desa Bangunjiwo hanya mendapat posisi juara II. Padahal seharusnya desa mereka mendapat juara I. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan desa mereka kalah dalam lomba 3 K. Usut punya usut, mereka menemukan penyebabnya. Padepokan Ngadiluwih milik Eyang Sidik Wacono merupakan sumber penyebab kekalahan. Karena padepokan itu memiliki pekarangan yang luas dan banyak ditumbuhi pepohonan yang besar, juga banyak ditumbuhi semak belukar. Pagar pekarangan hanya dari tetumbuhan, bukannya dipagar beton, sehingga jauh dari kesan kerapian dan ketertiban. Kondisi padepokan itulah yang mengurangi nilai desa mereka. Warga pun sepakat untuk men-demo Eyang Sidik Wacono.


4. Adegan Padepokan Ngadiluwih

Warga Bangunjiwa berbondong mendatangi rumah Eyang Sidik Wacana. Mereka memprotes orang tua itu yang tidak mengikuti program kebersihan dan ketertiban lingkungan. Pekarangan dan lingkungan lain sudah kelihatan bersih dan rapi. Tinggal lingkungan pekarangan Eyang Sidik Wacono yang masih kelihatan seperti belantara. Banyak pohon besar menjulang yang kerindangannya meneduhi jalanan membuat kondisi jalan selalu lembab di musim hujan. Berbagai tanaman liar yang tumbuh di pekarangan memperlihatkan pemandangan yang jauh dari kerapian dan keindahan. Warga meminta pemilik padepokan Ngadiluwih itu mengikuti anjuran pemerintah dan kesepakatan warga melakukan gerakan kebersihan. Namun orang tua itu bersikukuh tidak mau. Ia lebih memilih kekumuhan yang diciptakan oleh alam ketimbang kerapian dan keindahan yang diciptakan manusia. Kekumuhan alam justru menyimpan keindahan sejati dan lebih menjanjikan keberlangsungan kehidupan. Ketertiban dan kerapian yang diciptakan manusia adalah keindahan yang dipaksakan dan tak mampu menjamin keberlangsungan hari esok.

Pemikiran orang tua itu oleh orang-orang dianggap kolot dan tidak masuk akal. Mereka menjadi marah dan sepakat menertibkan paksa lingkungan pekarangan Eyang Sidik Wacono. Namun sebelum mereka bergerak, mendadak hujan lebat dan tiupan prahara mengguncang Desa Bangunjiwo. Dalam waktu singkat banjir dan tanah longsor memporakporandakan seisi desa. Hampir seluruh penduduk desa kehilangan tempat tinggal beserta semua hartanya. Hanya tempat tinggal dan lingkungan Eyang Sidik Wacono yang tampak utuh. Warga pun berbondong mengungsi dan berlindung di padepokan itu.

Beberapa saat kemudian hujan dan tiupan prahara reda. Kepedihan dan kesedihan menyelimuti warga desa yang berkumpul di padhepokan Ngadiluwih. Tampak sejumlah mayat terbujur kaku di tengah pendhapa. Diantara isak tangis dan kekalutan hati segenap warga, suara Eyang Sidik Wacana menyeruak mengajak mengkaji dan menyadari apa yang baru saja dialami. Alam lebih bisa mengatur diri. Kejumawaan tangan manusia hanya akan membuatnya rapuh. Ketika alam meluruh, pun kehidupan akan runtuh. Keliaran dan kekumuhan alam di sana letak sejatinya keindahan dan keberlangsungan kehidupan. Jangan tampik keberadaan alamiahnya agar datang hari esok.

Tancep Kayon

Selasa, 13 Januari 2009

WAJAH PERTUNJUKAN WAYANG KULIT HARI INI

Kontradiksi Antara Asumsi dan Realita
Muchtar Lubis dalam buku “Pembebasan Budaya-budaya Kita” (1999) berkisah, pada suatu ketika ia mendapat kesempatan membandingkan tenunan kain Lampung lama (yang terkenal ke seluruh dunia) dengan tenunan baru. Ia sangat terkejut melihat perbedaan kualitas yang amat besar. Tenunan kain Lampung baru dinilainya seakan tak berjiwa, dibuat asal jadi. Lebih jauh ia pun berpendapat, bahwa hal yang sama terjadi dengan barang-barang seni pulau Bali. Sebahagian besar yang dihasilkan kini untuk turis adalah bayangan yang amat pudar dari karya seni Bali yang sebenarnya. Tari Bali yang disuguhkan kepada turis juga menderita erosi mutu yang hebat.
Fenomena kemerosotan mutu kiranya tidak hanya berlangsung di kain tenun Lampung dan barang-barang seni di Bali. Hampir seluruh bentuk kesenian tradisional yang ada di Indonesia, terutama yang telah tersentuh tangan “proyek pelestarian dan pengembangan”, mengalami erosi mutu yang cukup meresahkan.
Pengikisan mutu, hilangnya jiwa dari tubuh budaya dan kesenian tradisional, berlangsung semenjak orang Indonesia menempatkan budaya dan seni sebagai kata benda, semenjak kepariwisataan mencetak budaya dan seni menjadi komoditi, ia harus bisa dikemas dan diperjual-belikan, ia harus dibikin praktis agar bisa ditenteng kesana kemari. Demikian juga ketika ia harus bisa dicetak bulat agar bisa untuk bal-balan di padang kepentingan politik, kekuasaan dan ekonomi.
Tidak dipungkiri memang, bahwa budaya dan kesenian tradisional yang tersentuh “proyek pelestarian dan pengembangan” akan terangkat popularitasnya. Ia menjadi semakin dikenal dan terkenal. Tetapi perlu kembali diingat bahwa yang dilihat orang kemudian adalah tak lebih sebagai barang kemasan, barang imitasi yang penuh dengan sentuhan modifikasi, sekadar benda tiruan yang tak lagi berjiwa dan tak lagi bermakna.

Wajah Pertunjukan Wayang Kulit
Demikian halnya dengan wajah seni pertunjukan wayang kulit purwa kita hari ini. Demi “pelestarian dan pengembangan”, pertunjukan wayang kulit purwa dipacu untuk terus berkembang. Namun sayang, pengembangan yang dilakukan sebatas wadhag-nya saja. Sentuhan-sentuhan inovasi yang memodifikasi berbagai sisi atau unsur kewadhagan memang membuat bentuk pertunjukan wayang kulit menjadi tampil lebih semarak dan spektakuler. Tetapi tanpa disadari sejumlah langkah inovasi yang hanya menyentuh sebatas permukaan tersebut telah membuatnya semakin kehilangan roh.
Pertunjukan wayang kulit kini semakin kehilangan kecakapannya sebagai media pencerahan bagi umat manusia yang tengah terus membangun peradaban, karena ia semakin kesulitan berkomunikasi dengan khalayak yang nota bene sudah semakin asing dengan bahasa maupun simbol-simbol yang ada di dalamnya. Terlebih bagi generasi yang lahir ketika era industri sudah mengiringi langkah kehidupan masyarakat kita. Paradigma cerita wayang kulit yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma generasi tersebut, membuat cerita yang dibawakan oleh dalang tidak menarik lagi. Jikalau pun sekarang ini pertunjukan wayang kulit masih didatangi orang lebih karena sebagai sebuah hiburan ia memang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang demikian maka keberadaan pertunjukan wayang kulit kita tak lebih sekedar sebagai sarana pemuas kenikmatan inderawi semata.

Konsep Wayang Kulit
Pertunjukan Wayang Kulit Spektakuler yang sering menghiasi acara kita saat bermalam panjang, merupakan salah satu gambaran nyata dari sebuah upaya pengemasan pertunjukan wayang kulit yang hanya mengejar kepuasan inderawi. Sentuhan-sentuhan inovasi artistik, baik itu pemanfaatan teknologi semacam tata cahaya warna-warni lengkap dengan sinar lasernya, juga unsur-unsur kesenian lain yang diusung ke atas panggung, membuat penampilan Wayang Kulit Spektakuler benar-benar heboh, tetapi sebaliknya kering makna sekaligus juga benar-benar telah melibas habis konsep kesenian itu sendiri.
Ketika dahulu nenek moyang kita menciptakan pertunjukan wayang kulit yang hanya dengan menggunakan satu blencong dan menempatkan posisi blencong itu persis di atas kepala dalang atau sedikit agak bergeser ke belakang, bertujuan agar dalang dapat menciptakan dan menghidupkan bayang-bayang dipermukaan kelir.
Hakekat diciptakannya permainan bayang-bayang ini adalah sebagai media atau wahana untuk menghantar pesan makna dari sebuah ceritera. Pada jaman nenek moyang kita yang masih kental dengan tradisi lisan menyadari bahwa kisah-kisah seperti Epos Mahabharata dan Ramayana yang begitu panjang dan sarat nilai ajaran itu dirasa akan sangat menjemukan bila dikisahkan secara lisan begitu saja. Maka lantas diciptakanlah sarana audiovisual untuk mentransfer cerita-cerita itu agar lebih menarik dan nilai ajaran yang terkandung dialamnya menjadi lebih mudah diterima oleh khalayak.
Sejalan dengan itu, untuk menghindari penyampaian pesan yang wantah dan menggurui diciptakanlah simbol-simbol. Dengan simbol-simbol tersebut orang dirangsang agar aktif dengan sendirinya untuk mencari lebih dalam lagi nilai-nilai tuntunan yang ada dalam pertunjukan wayang. Itulah sebab mengapa pertunjukan wayang kulit lantas dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Keseimbangan antara unsur tontonan dengan unsur tuntunan diibaratakan sebagai kesatuan antara wadah dan isi. Wadahnya adalah tontonan yang menarik, isinya adalah tuntunan yang luhur. Keselarasan antara wadah dengan isi tersebut yang mungkin lantas dikatakan oleh orang sebagai adi luhung. Andaikan pertunjukan wayang kulit sekarang ini tinggal ngopeni wadahnya saja, maka tidaklah salah ketika dalam wawancara di sebuah mass media, Ki Sutarko, dalang yang cukup kesohor di seputaran Kabupaten Kutoarjo, berucap lantang: “Wayang kulit adiluhung, prek!”

Kontradiksi
Hampir di setiap pertunjukan wayang kulit, ketika penonton meninggalkan tempat pertunjukan tidak ada sesuatu pun yang membekas di dasar batin mereka yang dapat direnungkan dan diperbincangkan dalam kerangka memperkaya khasanah pengalaman jiwa. Setiap habis pertunjukan kesan yang dibawa pulang tak lebih mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan inderawi. Keadaan yang demikian merupakan indikasi kuat adanya kontradiksi antara asumsi pertunjukan wayang kulit yang begitu luhur sarat pesan moral dengan kenyataan pertunjukan yang tidak mampu menyentuh sisi ruang batin penonton.
Entah mengapa hampir dari kita semua, khususnya para dalang, enggan menyadari dan mengakui adanya jurang kontradiksi antara asumsi dengan realita pertunjukan wayang kulit yang kian menganga. Mungkin karena kemunafikan memang telah membudaya dalam diri kita. Kemunafikan mengisi rongga kepala, hati, jiwa dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi. Kenyataan menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit semakin kedodoran dalam menanggung beban tugas pencerahan, namun kita masih saja menyebut-nyebut pertunjukan wayang kulit adalah tontonan dan tuntunan. Distorsi persepsi membuat para dalang merasa tersanjung di dalam keterpurukan karyanya. Kita semua bersikap bahwa apa yang sebenarnya hanya sebatas angan-angan, sebuah lambang, atau hanya slogan, seakan hidup dalam kenyataan dan dihayati oleh kita semua.

Tugas Kebudayaan
Dalam “pembebasan Budaya-budaya Kita” (1999), Rudini mengatakan, bahwa menurut pendekatan ‘kontekstual”, kebudayaan adalah suatu proses pribadi yang spontan, tanpa rencana dan tidak direkayasa. Hakekat kesungguhan dari kebudayaan adalah “daya hidup” dan “mutu hidup”. Kalau daya hidup adalah berbagai kemampuan mulai dari yang alamiah sampai yang merupakan produk dari perkembangan kemanusiaan, maka mutu hidup adalah kewajaran dalam menjalankan tanggung jawab memupuk idealisme dan menjaga spontanitas.
Fenomena pendangkalan mutu kesenian tradisional dikarenakan kita semakin kehilangan kesadaran dan kemampuan untuk melaksanakan tugas kebudayaan tersebut. Ketidak-sanggupan kalangan per-dalang-an kita hari ini untuk menjalankan tugas kebudayan ditandai secara dominan oleh beberapa ciri: maraknya bentuk pertunjukan yang stereotipe, ketidak-mampuan menjaga otoritas dan kewibawaan dalam berkarya, kian merosotnya kadar kreativitas, dan memburuknya etos kerja/berkarya.
Ketidak-berdayaan para dalang menghadapi tugas kebudayaan tersebut merupakan bagian dari dampak kegagalan kita menciptakan lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dapat mendorong terjadinya ledakan-ledakan kreativitas di masyarakat kita. Penguasa hendak mengatur semuanya. Kritik dibatasi atau dilarang. Kita jadi tidak peka terhadap kritik. Karena kritik dipasung, kreativitas pun turut pula dikerdilkan.
Adalah akan sangat menyedihkan bila sekarang kran kebebasan untuk mengekspresikan sikap kritis telah terbuka, sementara para dalang masih diam dalam keterpasungan. Kini saat yang tepat bagi para dalang, generasi muda khususnya, untuk mulai bangkit mengkritisi diri sendiri, keseniannya, masyarakatnya, lingkungan dan budayanya, dan mulai mengadakan dialog dengan tatanan, nilai-nilai ataupun paradigma baru agar tidak kepancal sepur jaman kang kelakon.

*****

Wayang Kampung Sebelah

LATAR KARYA
16 Juli 2000 lalu, sekelompok seniman Solo melahirkan genre wayang baru yang dinamakan Wayang Kampung Sebelah. Boneka wayangnya terbuat dari kulit berbentuk manusia yang distilasi. Tokoh-tokohnya, seperti halnya masyarakat kampung yang plural, terdiri dari penarik becak, bakul jamu, preman, pelacur, pak RT, pak lurah, hingga pejabat besar kota.
Penciptaan pertunjukan Wayang Kampung Sebelah ini berangkat dari keinginan membuat format pertunjukan wayang yang dapat menjadi wahana untuk mengangkat kisah realitas kehidupan masyarakat sekarang secara lebih lugas dan bebas tanpa harus terikat oleh norma-norma estetik yang rumit seperti halnya wayang klasik. Dengan menggunakan medium bahasa percakapan sehari-hari, baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, maka pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah ditangkap oleh penonton. Isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat masa kini, baik yang menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, merupakan sumber inspirasi penyusunan cerita yang disajikan. Wayang Kampung Sebelah pun dapat melayani pesanan lakon dengan catatan sejauh tidak bertentangan dengan asas kebenaran dan keadilan.

FORMAT PERTUNJUKAN
Mengangkat persoalan-persoalan yang serius tidak harus dengan pengungkapan yang serius merupakan karakter pertunjukan Wayang Kampung Sebelah. Muatan sinisme, satire, hingga kritikan tajam yang begitu dominan dalam pertunjukan ini dikemas secara segar penuh humor, baik melalui format alur, penokohan, dialog maupun syair lagu iringan.
Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah tidak menggunakan iringan gamelan, melainkan menggunakan iringan musik. Lagu-lagu iringannya lebih banyak menyajikan lagu-lagu karya cipta musisi Wayang Kampung Sebelah sendiri untuk memperkuat karakter pertunjukan. Berdasarkan instrumentasi dan aransemennya, bentuk musik iringan Wayang Kampung Sebelah termasuk kategori musik alternatif. Guna lebih memperkuat aspek entertainment-nya dapat dihadirkan bintang tamu artis penyanyi / pelawak yang populer. Dalam pertunjukan Wayang Kampung Sebelah, kisah di depan layar bukanlah semata-mata milik dalang. Pemusik maupun penonton berhak nyeletuk menimpali dialog maupun ungkapan-ungkapan dalang. Dalam setiap adegan sangat dimungkinkan berlangsungnya diskusi antara tokoh wayang, dalang, pemain musik, maupun penonton. Bahkan untuk kepentingan tertentu dapat dihadirkan nara sumber untuk melakukan diskusi membahas suatu persoalan sesuai tema yang disajikan.
DURASI PERTUNJUKAN
Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah berdurasi sekitar 2 – 3 jam. Untuk kepentingan / kondisi tertentu, dapat juga menyajikan pertunjukan dalam durasi kurang dari 60 menit.
AWAK
1. Jlitheng Suparman : Dalang / Penulis Naskah
2. Yayat Suheryatna : Jimbe / Penata Iringan
3. Max Baihaqi : Gitar / Ass. Penata Iringan
4. Agung Riyadi : Flut
5. Nadias : Bas
6. Gendhot : Sexofon
7. Gusur : Drum
8. Kukuh : Kendang
9. Joko Ngadimin : Vokal
10. Dwi Jaya Syaifil Munir : Vokal
11. Cahwati : Vokal
12. Sarno B : Penata Teknis.

ALAMAT SEKRETARIAT
Siwal RT 05 RW 02, Desa Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah 57556, Telephone 0271-7012718; HP 081 2297 3185

Pentas WKS

Pentas WKS
Hotel Graha Santika Semarang