Kontradiksi Antara Asumsi dan Realita
Muchtar Lubis dalam buku “Pembebasan Budaya-budaya Kita” (1999) berkisah, pada suatu ketika ia mendapat kesempatan membandingkan tenunan kain Lampung lama (yang terkenal ke seluruh dunia) dengan tenunan baru. Ia sangat terkejut melihat perbedaan kualitas yang amat besar. Tenunan kain Lampung baru dinilainya seakan tak berjiwa, dibuat asal jadi. Lebih jauh ia pun berpendapat, bahwa hal yang sama terjadi dengan barang-barang seni pulau Bali. Sebahagian besar yang dihasilkan kini untuk turis adalah bayangan yang amat pudar dari karya seni Bali yang sebenarnya. Tari Bali yang disuguhkan kepada turis juga menderita erosi mutu yang hebat.
Fenomena kemerosotan mutu kiranya tidak hanya berlangsung di kain tenun Lampung dan barang-barang seni di Bali. Hampir seluruh bentuk kesenian tradisional yang ada di Indonesia, terutama yang telah tersentuh tangan “proyek pelestarian dan pengembangan”, mengalami erosi mutu yang cukup meresahkan.
Pengikisan mutu, hilangnya jiwa dari tubuh budaya dan kesenian tradisional, berlangsung semenjak orang Indonesia menempatkan budaya dan seni sebagai kata benda, semenjak kepariwisataan mencetak budaya dan seni menjadi komoditi, ia harus bisa dikemas dan diperjual-belikan, ia harus dibikin praktis agar bisa ditenteng kesana kemari. Demikian juga ketika ia harus bisa dicetak bulat agar bisa untuk bal-balan di padang kepentingan politik, kekuasaan dan ekonomi.
Tidak dipungkiri memang, bahwa budaya dan kesenian tradisional yang tersentuh “proyek pelestarian dan pengembangan” akan terangkat popularitasnya. Ia menjadi semakin dikenal dan terkenal. Tetapi perlu kembali diingat bahwa yang dilihat orang kemudian adalah tak lebih sebagai barang kemasan, barang imitasi yang penuh dengan sentuhan modifikasi, sekadar benda tiruan yang tak lagi berjiwa dan tak lagi bermakna.
Wajah Pertunjukan Wayang Kulit
Demikian halnya dengan wajah seni pertunjukan wayang kulit purwa kita hari ini. Demi “pelestarian dan pengembangan”, pertunjukan wayang kulit purwa dipacu untuk terus berkembang. Namun sayang, pengembangan yang dilakukan sebatas wadhag-nya saja. Sentuhan-sentuhan inovasi yang memodifikasi berbagai sisi atau unsur kewadhagan memang membuat bentuk pertunjukan wayang kulit menjadi tampil lebih semarak dan spektakuler. Tetapi tanpa disadari sejumlah langkah inovasi yang hanya menyentuh sebatas permukaan tersebut telah membuatnya semakin kehilangan roh.
Pertunjukan wayang kulit kini semakin kehilangan kecakapannya sebagai media pencerahan bagi umat manusia yang tengah terus membangun peradaban, karena ia semakin kesulitan berkomunikasi dengan khalayak yang nota bene sudah semakin asing dengan bahasa maupun simbol-simbol yang ada di dalamnya. Terlebih bagi generasi yang lahir ketika era industri sudah mengiringi langkah kehidupan masyarakat kita. Paradigma cerita wayang kulit yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma generasi tersebut, membuat cerita yang dibawakan oleh dalang tidak menarik lagi. Jikalau pun sekarang ini pertunjukan wayang kulit masih didatangi orang lebih karena sebagai sebuah hiburan ia memang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang demikian maka keberadaan pertunjukan wayang kulit kita tak lebih sekedar sebagai sarana pemuas kenikmatan inderawi semata.
Konsep Wayang Kulit
Pertunjukan Wayang Kulit Spektakuler yang sering menghiasi acara kita saat bermalam panjang, merupakan salah satu gambaran nyata dari sebuah upaya pengemasan pertunjukan wayang kulit yang hanya mengejar kepuasan inderawi. Sentuhan-sentuhan inovasi artistik, baik itu pemanfaatan teknologi semacam tata cahaya warna-warni lengkap dengan sinar lasernya, juga unsur-unsur kesenian lain yang diusung ke atas panggung, membuat penampilan Wayang Kulit Spektakuler benar-benar heboh, tetapi sebaliknya kering makna sekaligus juga benar-benar telah melibas habis konsep kesenian itu sendiri.
Ketika dahulu nenek moyang kita menciptakan pertunjukan wayang kulit yang hanya dengan menggunakan satu blencong dan menempatkan posisi blencong itu persis di atas kepala dalang atau sedikit agak bergeser ke belakang, bertujuan agar dalang dapat menciptakan dan menghidupkan bayang-bayang dipermukaan kelir.
Hakekat diciptakannya permainan bayang-bayang ini adalah sebagai media atau wahana untuk menghantar pesan makna dari sebuah ceritera. Pada jaman nenek moyang kita yang masih kental dengan tradisi lisan menyadari bahwa kisah-kisah seperti Epos Mahabharata dan Ramayana yang begitu panjang dan sarat nilai ajaran itu dirasa akan sangat menjemukan bila dikisahkan secara lisan begitu saja. Maka lantas diciptakanlah sarana audiovisual untuk mentransfer cerita-cerita itu agar lebih menarik dan nilai ajaran yang terkandung dialamnya menjadi lebih mudah diterima oleh khalayak.
Sejalan dengan itu, untuk menghindari penyampaian pesan yang wantah dan menggurui diciptakanlah simbol-simbol. Dengan simbol-simbol tersebut orang dirangsang agar aktif dengan sendirinya untuk mencari lebih dalam lagi nilai-nilai tuntunan yang ada dalam pertunjukan wayang. Itulah sebab mengapa pertunjukan wayang kulit lantas dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Keseimbangan antara unsur tontonan dengan unsur tuntunan diibaratakan sebagai kesatuan antara wadah dan isi. Wadahnya adalah tontonan yang menarik, isinya adalah tuntunan yang luhur. Keselarasan antara wadah dengan isi tersebut yang mungkin lantas dikatakan oleh orang sebagai adi luhung. Andaikan pertunjukan wayang kulit sekarang ini tinggal ngopeni wadahnya saja, maka tidaklah salah ketika dalam wawancara di sebuah mass media, Ki Sutarko, dalang yang cukup kesohor di seputaran Kabupaten Kutoarjo, berucap lantang: “Wayang kulit adiluhung, prek!”
Kontradiksi
Hampir di setiap pertunjukan wayang kulit, ketika penonton meninggalkan tempat pertunjukan tidak ada sesuatu pun yang membekas di dasar batin mereka yang dapat direnungkan dan diperbincangkan dalam kerangka memperkaya khasanah pengalaman jiwa. Setiap habis pertunjukan kesan yang dibawa pulang tak lebih mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan inderawi. Keadaan yang demikian merupakan indikasi kuat adanya kontradiksi antara asumsi pertunjukan wayang kulit yang begitu luhur sarat pesan moral dengan kenyataan pertunjukan yang tidak mampu menyentuh sisi ruang batin penonton.
Entah mengapa hampir dari kita semua, khususnya para dalang, enggan menyadari dan mengakui adanya jurang kontradiksi antara asumsi dengan realita pertunjukan wayang kulit yang kian menganga. Mungkin karena kemunafikan memang telah membudaya dalam diri kita. Kemunafikan mengisi rongga kepala, hati, jiwa dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi. Kenyataan menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit semakin kedodoran dalam menanggung beban tugas pencerahan, namun kita masih saja menyebut-nyebut pertunjukan wayang kulit adalah tontonan dan tuntunan. Distorsi persepsi membuat para dalang merasa tersanjung di dalam keterpurukan karyanya. Kita semua bersikap bahwa apa yang sebenarnya hanya sebatas angan-angan, sebuah lambang, atau hanya slogan, seakan hidup dalam kenyataan dan dihayati oleh kita semua.
Tugas Kebudayaan
Dalam “pembebasan Budaya-budaya Kita” (1999), Rudini mengatakan, bahwa menurut pendekatan ‘kontekstual”, kebudayaan adalah suatu proses pribadi yang spontan, tanpa rencana dan tidak direkayasa. Hakekat kesungguhan dari kebudayaan adalah “daya hidup” dan “mutu hidup”. Kalau daya hidup adalah berbagai kemampuan mulai dari yang alamiah sampai yang merupakan produk dari perkembangan kemanusiaan, maka mutu hidup adalah kewajaran dalam menjalankan tanggung jawab memupuk idealisme dan menjaga spontanitas.
Fenomena pendangkalan mutu kesenian tradisional dikarenakan kita semakin kehilangan kesadaran dan kemampuan untuk melaksanakan tugas kebudayaan tersebut. Ketidak-sanggupan kalangan per-dalang-an kita hari ini untuk menjalankan tugas kebudayan ditandai secara dominan oleh beberapa ciri: maraknya bentuk pertunjukan yang stereotipe, ketidak-mampuan menjaga otoritas dan kewibawaan dalam berkarya, kian merosotnya kadar kreativitas, dan memburuknya etos kerja/berkarya.
Ketidak-berdayaan para dalang menghadapi tugas kebudayaan tersebut merupakan bagian dari dampak kegagalan kita menciptakan lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dapat mendorong terjadinya ledakan-ledakan kreativitas di masyarakat kita. Penguasa hendak mengatur semuanya. Kritik dibatasi atau dilarang. Kita jadi tidak peka terhadap kritik. Karena kritik dipasung, kreativitas pun turut pula dikerdilkan.
Adalah akan sangat menyedihkan bila sekarang kran kebebasan untuk mengekspresikan sikap kritis telah terbuka, sementara para dalang masih diam dalam keterpasungan. Kini saat yang tepat bagi para dalang, generasi muda khususnya, untuk mulai bangkit mengkritisi diri sendiri, keseniannya, masyarakatnya, lingkungan dan budayanya, dan mulai mengadakan dialog dengan tatanan, nilai-nilai ataupun paradigma baru agar tidak kepancal sepur jaman kang kelakon.
*****
Fenomena kemerosotan mutu kiranya tidak hanya berlangsung di kain tenun Lampung dan barang-barang seni di Bali. Hampir seluruh bentuk kesenian tradisional yang ada di Indonesia, terutama yang telah tersentuh tangan “proyek pelestarian dan pengembangan”, mengalami erosi mutu yang cukup meresahkan.
Pengikisan mutu, hilangnya jiwa dari tubuh budaya dan kesenian tradisional, berlangsung semenjak orang Indonesia menempatkan budaya dan seni sebagai kata benda, semenjak kepariwisataan mencetak budaya dan seni menjadi komoditi, ia harus bisa dikemas dan diperjual-belikan, ia harus dibikin praktis agar bisa ditenteng kesana kemari. Demikian juga ketika ia harus bisa dicetak bulat agar bisa untuk bal-balan di padang kepentingan politik, kekuasaan dan ekonomi.
Tidak dipungkiri memang, bahwa budaya dan kesenian tradisional yang tersentuh “proyek pelestarian dan pengembangan” akan terangkat popularitasnya. Ia menjadi semakin dikenal dan terkenal. Tetapi perlu kembali diingat bahwa yang dilihat orang kemudian adalah tak lebih sebagai barang kemasan, barang imitasi yang penuh dengan sentuhan modifikasi, sekadar benda tiruan yang tak lagi berjiwa dan tak lagi bermakna.
Wajah Pertunjukan Wayang Kulit
Demikian halnya dengan wajah seni pertunjukan wayang kulit purwa kita hari ini. Demi “pelestarian dan pengembangan”, pertunjukan wayang kulit purwa dipacu untuk terus berkembang. Namun sayang, pengembangan yang dilakukan sebatas wadhag-nya saja. Sentuhan-sentuhan inovasi yang memodifikasi berbagai sisi atau unsur kewadhagan memang membuat bentuk pertunjukan wayang kulit menjadi tampil lebih semarak dan spektakuler. Tetapi tanpa disadari sejumlah langkah inovasi yang hanya menyentuh sebatas permukaan tersebut telah membuatnya semakin kehilangan roh.
Pertunjukan wayang kulit kini semakin kehilangan kecakapannya sebagai media pencerahan bagi umat manusia yang tengah terus membangun peradaban, karena ia semakin kesulitan berkomunikasi dengan khalayak yang nota bene sudah semakin asing dengan bahasa maupun simbol-simbol yang ada di dalamnya. Terlebih bagi generasi yang lahir ketika era industri sudah mengiringi langkah kehidupan masyarakat kita. Paradigma cerita wayang kulit yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma generasi tersebut, membuat cerita yang dibawakan oleh dalang tidak menarik lagi. Jikalau pun sekarang ini pertunjukan wayang kulit masih didatangi orang lebih karena sebagai sebuah hiburan ia memang cukup menjanjikan. Dalam kondisi yang demikian maka keberadaan pertunjukan wayang kulit kita tak lebih sekedar sebagai sarana pemuas kenikmatan inderawi semata.
Konsep Wayang Kulit
Pertunjukan Wayang Kulit Spektakuler yang sering menghiasi acara kita saat bermalam panjang, merupakan salah satu gambaran nyata dari sebuah upaya pengemasan pertunjukan wayang kulit yang hanya mengejar kepuasan inderawi. Sentuhan-sentuhan inovasi artistik, baik itu pemanfaatan teknologi semacam tata cahaya warna-warni lengkap dengan sinar lasernya, juga unsur-unsur kesenian lain yang diusung ke atas panggung, membuat penampilan Wayang Kulit Spektakuler benar-benar heboh, tetapi sebaliknya kering makna sekaligus juga benar-benar telah melibas habis konsep kesenian itu sendiri.
Ketika dahulu nenek moyang kita menciptakan pertunjukan wayang kulit yang hanya dengan menggunakan satu blencong dan menempatkan posisi blencong itu persis di atas kepala dalang atau sedikit agak bergeser ke belakang, bertujuan agar dalang dapat menciptakan dan menghidupkan bayang-bayang dipermukaan kelir.
Hakekat diciptakannya permainan bayang-bayang ini adalah sebagai media atau wahana untuk menghantar pesan makna dari sebuah ceritera. Pada jaman nenek moyang kita yang masih kental dengan tradisi lisan menyadari bahwa kisah-kisah seperti Epos Mahabharata dan Ramayana yang begitu panjang dan sarat nilai ajaran itu dirasa akan sangat menjemukan bila dikisahkan secara lisan begitu saja. Maka lantas diciptakanlah sarana audiovisual untuk mentransfer cerita-cerita itu agar lebih menarik dan nilai ajaran yang terkandung dialamnya menjadi lebih mudah diterima oleh khalayak.
Sejalan dengan itu, untuk menghindari penyampaian pesan yang wantah dan menggurui diciptakanlah simbol-simbol. Dengan simbol-simbol tersebut orang dirangsang agar aktif dengan sendirinya untuk mencari lebih dalam lagi nilai-nilai tuntunan yang ada dalam pertunjukan wayang. Itulah sebab mengapa pertunjukan wayang kulit lantas dikatakan sebagai tontonan dan tuntunan.
Keseimbangan antara unsur tontonan dengan unsur tuntunan diibaratakan sebagai kesatuan antara wadah dan isi. Wadahnya adalah tontonan yang menarik, isinya adalah tuntunan yang luhur. Keselarasan antara wadah dengan isi tersebut yang mungkin lantas dikatakan oleh orang sebagai adi luhung. Andaikan pertunjukan wayang kulit sekarang ini tinggal ngopeni wadahnya saja, maka tidaklah salah ketika dalam wawancara di sebuah mass media, Ki Sutarko, dalang yang cukup kesohor di seputaran Kabupaten Kutoarjo, berucap lantang: “Wayang kulit adiluhung, prek!”
Kontradiksi
Hampir di setiap pertunjukan wayang kulit, ketika penonton meninggalkan tempat pertunjukan tidak ada sesuatu pun yang membekas di dasar batin mereka yang dapat direnungkan dan diperbincangkan dalam kerangka memperkaya khasanah pengalaman jiwa. Setiap habis pertunjukan kesan yang dibawa pulang tak lebih mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan inderawi. Keadaan yang demikian merupakan indikasi kuat adanya kontradiksi antara asumsi pertunjukan wayang kulit yang begitu luhur sarat pesan moral dengan kenyataan pertunjukan yang tidak mampu menyentuh sisi ruang batin penonton.
Entah mengapa hampir dari kita semua, khususnya para dalang, enggan menyadari dan mengakui adanya jurang kontradiksi antara asumsi dengan realita pertunjukan wayang kulit yang kian menganga. Mungkin karena kemunafikan memang telah membudaya dalam diri kita. Kemunafikan mengisi rongga kepala, hati, jiwa dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi. Kenyataan menunjukkan bahwa pertunjukan wayang kulit semakin kedodoran dalam menanggung beban tugas pencerahan, namun kita masih saja menyebut-nyebut pertunjukan wayang kulit adalah tontonan dan tuntunan. Distorsi persepsi membuat para dalang merasa tersanjung di dalam keterpurukan karyanya. Kita semua bersikap bahwa apa yang sebenarnya hanya sebatas angan-angan, sebuah lambang, atau hanya slogan, seakan hidup dalam kenyataan dan dihayati oleh kita semua.
Tugas Kebudayaan
Dalam “pembebasan Budaya-budaya Kita” (1999), Rudini mengatakan, bahwa menurut pendekatan ‘kontekstual”, kebudayaan adalah suatu proses pribadi yang spontan, tanpa rencana dan tidak direkayasa. Hakekat kesungguhan dari kebudayaan adalah “daya hidup” dan “mutu hidup”. Kalau daya hidup adalah berbagai kemampuan mulai dari yang alamiah sampai yang merupakan produk dari perkembangan kemanusiaan, maka mutu hidup adalah kewajaran dalam menjalankan tanggung jawab memupuk idealisme dan menjaga spontanitas.
Fenomena pendangkalan mutu kesenian tradisional dikarenakan kita semakin kehilangan kesadaran dan kemampuan untuk melaksanakan tugas kebudayaan tersebut. Ketidak-sanggupan kalangan per-dalang-an kita hari ini untuk menjalankan tugas kebudayan ditandai secara dominan oleh beberapa ciri: maraknya bentuk pertunjukan yang stereotipe, ketidak-mampuan menjaga otoritas dan kewibawaan dalam berkarya, kian merosotnya kadar kreativitas, dan memburuknya etos kerja/berkarya.
Ketidak-berdayaan para dalang menghadapi tugas kebudayaan tersebut merupakan bagian dari dampak kegagalan kita menciptakan lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dapat mendorong terjadinya ledakan-ledakan kreativitas di masyarakat kita. Penguasa hendak mengatur semuanya. Kritik dibatasi atau dilarang. Kita jadi tidak peka terhadap kritik. Karena kritik dipasung, kreativitas pun turut pula dikerdilkan.
Adalah akan sangat menyedihkan bila sekarang kran kebebasan untuk mengekspresikan sikap kritis telah terbuka, sementara para dalang masih diam dalam keterpasungan. Kini saat yang tepat bagi para dalang, generasi muda khususnya, untuk mulai bangkit mengkritisi diri sendiri, keseniannya, masyarakatnya, lingkungan dan budayanya, dan mulai mengadakan dialog dengan tatanan, nilai-nilai ataupun paradigma baru agar tidak kepancal sepur jaman kang kelakon.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar