1. Adegan Padhepokan Ngadiluwih
Eyang Sidik Wacono dan Kampret berbincang tentang perkembangan kondisi kehidupan di era sekarang, era sandyakala, era transisi. Di era sandayakala biasanya hukum tidak berjalan, etika dikesampingkan, norma tak lagi diperhatikan. Hidup berbangsa dan bernegara ini tidak ubahnya seperti orang bermain sepak bola. Di sana ada pribadi, ada kelompok dan ada gol yang menjadi tujuan. Apa yang terjadi bila para pemain tidak satupun mengindahkan aturan main? Permainan akan menjadi liar. Wasit bisa seenaknya meniup peluit. Sebaliknya pemain bisa seenaknya menganiaya wasit. Akan banyak pemain yang tak lagi menendang bola karena asyik adu jotos. Bahkan pemain yang termakan mafia akan dengan enaknya menyarangkan gol bunuh diri.
Terciptanya kualitas hidup manusia secara lahir-batin tergantung sejauh mana orang menaati aturan main alias hukum, norma dan etika. Kadar ketaatan manusia terhadap hukum sangat tergantung kepada tinggi rendahnya kadar moralitas. Tinggi rendahnya kadar moralitas sangat tergantung kepada kedalaman religiusitas. Religiusitas adalah kesadaran bahwa manusia tidak hidup sendiri, ia berdampingan dengan sesama dan lingkungan alam. Kesadaran tersebut membuat manusia berbudi-daya dalam rangka membangun keselarasan. Keselarasan dengan sesama manusia dan keselarasan dengan alam. Rumus sederhananya; religiusitas melahirkan budaya, sebaliknya budaya menyuburkan religiusitas. Ibarat telor dan ayam, tidak ada telor bila tidak ada ayam, sebaliknya juga tidak akan ada ayam bila tidak ada telor. Maka untuk membangun moralitas bangsa ini tiada jalan lain kecuali back to culture lengkap dengan dinamisasinya.
Sesaat kemudian Parjo dan Karyo datang menyampaikan instruksi dari Pak Lurah yang meminta seluruh warga desa Bangunjiwo melakukan gerakan kebersihan, ketertiban dan kerapian. Sebab Desa Bangunjiwo akan mengikuti lomba 3 K (kebersihan, ketertiban dan kerapian) tingkat Kabupaten. Eyang Sidik Wacono kurang setuju terhadap konsep 3 K yang belakangan dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat. Sebab konsep itu telah mengorbankan tanah dan pepohonan. Demi 3 K permukaan tanah menjadi hilang oleh betonisasi sehingga tidak mampu lagi menyerap air. Pepohonan besar banyak ditumbangkan sehingga tidak ada yang menyimpan air. Maka Eyang Sidik Wacono bersikeras tidak mau ikut-ikutan terjebak menjalani konsep 3 K yang kebablasan itu. Parjo dan Karyo tidak mau berdebat, langsung pergi.
2. Adegan Pengumunan Hasil Lomba
Saat Pengumuman hasil lomba 3 K sudah tiba. Sebelum pengumuman hasil lomba disampaikan, hadirin disuguhi pertunjukan musik dangdut. Setelah beberapa penyanyi beraksi menghibur hadirin, Pengumuman hasil lomba disampaikan oleh Ketua Dewan Juri. Desa Bangunjiwo mendapat juara II. Selesai pengumumuman, acara pun ditutup.
3. Adegan Balai Desa Bangunjiwo
Parjo, Karyo, Jhony dan sejumlah warga mendatangi Lurah Somad. Mereka menyatakan kekecewaannya lantaran Desa Bangunjiwo hanya mendapat posisi juara II. Padahal seharusnya desa mereka mendapat juara I. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan desa mereka kalah dalam lomba 3 K. Usut punya usut, mereka menemukan penyebabnya. Padepokan Ngadiluwih milik Eyang Sidik Wacono merupakan sumber penyebab kekalahan. Karena padepokan itu memiliki pekarangan yang luas dan banyak ditumbuhi pepohonan yang besar, juga banyak ditumbuhi semak belukar. Pagar pekarangan hanya dari tetumbuhan, bukannya dipagar beton, sehingga jauh dari kesan kerapian dan ketertiban. Kondisi padepokan itulah yang mengurangi nilai desa mereka. Warga pun sepakat untuk men-demo Eyang Sidik Wacono.
4. Adegan Padepokan Ngadiluwih
Warga Bangunjiwa berbondong mendatangi rumah Eyang Sidik Wacana. Mereka memprotes orang tua itu yang tidak mengikuti program kebersihan dan ketertiban lingkungan. Pekarangan dan lingkungan lain sudah kelihatan bersih dan rapi. Tinggal lingkungan pekarangan Eyang Sidik Wacono yang masih kelihatan seperti belantara. Banyak pohon besar menjulang yang kerindangannya meneduhi jalanan membuat kondisi jalan selalu lembab di musim hujan. Berbagai tanaman liar yang tumbuh di pekarangan memperlihatkan pemandangan yang jauh dari kerapian dan keindahan. Warga meminta pemilik padepokan Ngadiluwih itu mengikuti anjuran pemerintah dan kesepakatan warga melakukan gerakan kebersihan. Namun orang tua itu bersikukuh tidak mau. Ia lebih memilih kekumuhan yang diciptakan oleh alam ketimbang kerapian dan keindahan yang diciptakan manusia. Kekumuhan alam justru menyimpan keindahan sejati dan lebih menjanjikan keberlangsungan kehidupan. Ketertiban dan kerapian yang diciptakan manusia adalah keindahan yang dipaksakan dan tak mampu menjamin keberlangsungan hari esok.
Pemikiran orang tua itu oleh orang-orang dianggap kolot dan tidak masuk akal. Mereka menjadi marah dan sepakat menertibkan paksa lingkungan pekarangan Eyang Sidik Wacono. Namun sebelum mereka bergerak, mendadak hujan lebat dan tiupan prahara mengguncang Desa Bangunjiwo. Dalam waktu singkat banjir dan tanah longsor memporakporandakan seisi desa. Hampir seluruh penduduk desa kehilangan tempat tinggal beserta semua hartanya. Hanya tempat tinggal dan lingkungan Eyang Sidik Wacono yang tampak utuh. Warga pun berbondong mengungsi dan berlindung di padepokan itu.
Beberapa saat kemudian hujan dan tiupan prahara reda. Kepedihan dan kesedihan menyelimuti warga desa yang berkumpul di padhepokan Ngadiluwih. Tampak sejumlah mayat terbujur kaku di tengah pendhapa. Diantara isak tangis dan kekalutan hati segenap warga, suara Eyang Sidik Wacana menyeruak mengajak mengkaji dan menyadari apa yang baru saja dialami. Alam lebih bisa mengatur diri. Kejumawaan tangan manusia hanya akan membuatnya rapuh. Ketika alam meluruh, pun kehidupan akan runtuh. Keliaran dan kekumuhan alam di sana letak sejatinya keindahan dan keberlangsungan kehidupan. Jangan tampik keberadaan alamiahnya agar datang hari esok.
Tancep Kayon